Rabu, 04 April 2012

Kritis Terhadap Realitas...

Kita adalah bagian dari realitas sosial. Realitas sosial adalah kondisi kehidupan kemasyarakatan di sekeliling manusia tersebut. Keluarga adalah realitas sosial terkecil dalam kehidupan ini. Karenanya, manusia adalah pemeran utama dalam realitas sosial. Peran ini sesuai dengan pilihan-pilihan manusia itu sendiri. Boleh jadi dalam waktu tertentu, manusia berperan sebagai seorang Ayah,  Guru, Penegak Hukum, Petani, atau sebagai seorang Tenaga Medis.

Realitas sosial diciptakan oleh setiap manusia. Kenyataan yang terjadi disekitar manusia, dimainkan atau di produksi oleh si pelaku. Karena itulah peran-peran yang dimainkan oleh pelaku, akan sangat menentukan bagaimana realitas sosial yang akan terjadi di lingkungannya. Kemudian media massa cetak atau elektronik akan mengkontruksi realitas tersebut, jadilah ia realitas media.

Peran manusia dalam realitas sosial ditentukan oleh pengalaman hidup yang telah dialaminya,  budaya yang terjadi semasa hidupnya, dan pendidikan yang dimilikinya. Dalam realitas sosial, kontruksi media massa baik cetak atau elektronik terhadap realitas sosial itu sendiri, sangat dominan memainkan isu. Artinya apa yang dilakukan manusia dalam realitas sosial juga tergantung sejauh mana informasi yang diterima manusia.

Meminjam istilah George Gerbner dalam teori kultivasinya, kekerasan yang di lihat di layar televisi membuat khalayak atau konsumen mempersepsikan dunia sebagaimana yang ditunjukan oleh media atau televisi itu, maka khalayak akan mempersepsi dunia dengan kekerasan.

Teori ini dapat di mengerti bahwa sebuah adegan, sebuah kisah atau sebuah kejadian yang dipertontonkan oleh televisi, kemudian di tonton secara terus menerus, maka penonton yang melihat tersebut akan mengakui bahwa apa yang dikontruksi televisi tersebut benar begitu adanya. Diartikulasikan bahwa kisah semu yang dipertontonkan di televisi akan menjadi kisah nyata dalam kehidupan manusia.

Contoh nyata bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh media, adalah perjalanan seorang Masnur Muslich (2009) yang mendapatkan tugas mengajar di Pattani Thailand Selatan dari Universitas Negeri Malang. Sampai saat ini daerah Pattani diberitakan sebagai basisnya teroris di Thailand. Pemberitaan baik di televisi dan media cetak internasional, menyebutkan daerah Pattani adalah sumber teroris di Thailand.

Ketika Masnur pertama kali menginjakkan kaki di tanah Pattani, dia sangat waspada akan keselamatannya, berhati-hati dengan bom bunuh diri yang setiap saat mengancam. Namun bertolak belakang dengan apa yang dipersepsikannya selama ini. Tidak ada tanda-tanda teroris, tidak ada bom bunuh diri, bahkan masyarakat di sana sangat ramah, dalam kehidupan yang beragam. (lihat Kekuasaan Media Massa Mengkontruksi Realitas ; Masnur Muslich)

Dari sedikit pengalaman Masnur di atas menyebutkan bahwa realitas yang dibangun oleh media akan menggiring persepsi publik, kepada kepentingan para pemegang media dengan berbagai macam motif, pragmatis atau ideologis, tanpa diketahui oleh publik, apa, bagaimana dan mengapa harus realitas itu yang diangkat oleh media?

Kritis terhadap realitas

Banyaknya Stasiun Televisi di Indonesia (TVRI, RCTI, Global TV, ANTV, Trans TV, TV One, Metro TV, TPI, O Chanel, SCTV, Indosiar dan lain-lain), sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, memberikan banyak pilihan bagi pelaku realitas sosial dalam menyerap informasi. Mengingat begitu banyaknya ruang tontonan ini, seharusnya kita memiliki selektivitas dalam memilihnya untuk menjadi kebutuhan sekunder kita.

Makin banyak media yang disediakan, maka makin banyak juga ruang informasi yang akan didapatkan olah masyarakat. Informasi yang beragam ini menjadi stimulus persepsi dalam realitas sosial.

Begitu banyaknya ruang informasi dari media, ada pertanyaan yang muncul, ketika manusia menempatkan media televisi atau media cetak menjadi kebutuhan sekundernya (sebagian masyarakat menjadikan tontonan televisi menjadi kebutuhan wajibnya), dimana posisi kita? Kritis atau terbawa arus?

Sikap kritis kita terhadap media, akan menjadikan kita sebagai agent of control social dilingkungan kita. Namun ketika kita terbawa arus media maka saat itu kita akan memperkeruh suasana, atau jangan-jangan kita akan membuat permasalahan semakin kacau.

Contohnya begini, Gramsci menyimpulkan bahwa budaya barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang. Sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya barat. Jika tidak demikian maka negara berkembang akan klaim sebagai negara terbelakang.

Jakarta di tahun 70-an, tidak ada diskotik, pub, billiard. Namun ketika media mengkontruksi ruang hiburan barat ini, tanpa ada sikap kritis dan solutif, lambat laun media-media hiburan tersebut masuk ke Indonesia. Begitu juga dengan VCD dan DVD juga cyber media. Ditahun-tahun 90-an belum ada, namun saat ini semua tersedia. Siapa saja dapat mengakses dan membelinya.

Yang terjadi selama ini, ketika masuknya budaya-budaya katakanlah dugem, budaya pop, kita tidak menempatkan diri sebagai masyarakat yang kritis. Sebaliknya budaya-budaya ini diimitasi, bahkan dijadikan komoditas bagi para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan terbukti dengan kasus maraknya VCD atau DVD bajakan.

Jika saja sikap kekritisan kita itu jauh lebih besar dari pada sikap imitative, maka dengan sendirinya budaya-budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan kita, akan terfilterisasi, dan kita buang jauh-jauh. Dalam artian budaya yang baik kita lestarikan, dan budaya yang buruk kita tinggalkan. Dalam menghadapi realitas sosial baik yang di kontruksi media atau tidak, sebagai masyarakat sikap kritis harus kita lestarikan. Segala sesuatu yang terjadi apabila kita hadapi dengan sikap kritis, maka pertanyaan-pertanyaan apa dampaknya bagi kehidupan kita? Apakah berakibat positif atau negative bagi kita?Akan senantiasa kita ucapkan sebagai langkah yang tepat dalam menimbang baik dan buruknya sesuatu yang baru bagi kita.

Melestarikan sikap kritis artinya senantiasa menimbang baik dan buruknya setiap kejadian yang terjadi di lingkungan kita. Menimbang manfaatnya bagi masyarakat umum dan bagaimana kita menempatkan diri dalam realitas tersebut.

Realitas media, berupa hiburan, film, sinetron kecuali berita, adalah realitas semu. Karenanya sikap kritis ini harus kita lestarikan, agar kita bisa menimbang sesuatu realitas baik realitas media atau realitas sosial dari sisi baik dan buruknya serta manfaatnya bagi kita semua.

Dalam Al Quran telah dijelaskan dalam suroh Al Hujuroot ayat 6 "Hai orang-orang yang beriman jika seseorang yang fasik datang kepada mu membawa suatu berita, maka telitilah dulu kebenarannya. Agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohanmu (kecerobohanmu) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan mu.

Semoga kita senantiasa kritis dalam hal-hal yang baru dalam kehidupan kita, apalagi jika sudah jelas-jelas merusak moral, dan bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan. Wallahu'alam bisshowab.Fajri al-Bankulani

2 komentar:

  1. maju terus kang, salam dari SD Islam Nida El Adabi Parungpanjang!
    http://sdinidaeladabi.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Syukron 'ala ziyarotikum fii nahnul makan....... insyallah kita akan berjaya dengan da'wah di online kang..... berapa nomer hp antum.......ini hp ana 0852 1825 2495 fajri al Bankulani

    BalasHapus