Umat Islam kini telah memasuki tahun
baru Hijriah yang ke 1435. Berbagai penyambutan untuk menyerap spirit hijrah
sudah dilakukan oleh berbagai pihak, agar momentum tahun baru terasa lebih bermakna
dan penuh berkah. Kita sebagai seorang Muslim seyogyanya memiliki kesiapan menyambut
momentum berharga teersebut sebagai media perubahan, menuju arah yang lebih
baik, semakin baik dan terus meningkatkan kebaikan.
Sebuah perusahaan saja setiap akhir
tahun senantiasa melakukan rekapitulasi dan evaluasi, demikian pula semestinya
setiap Muslim ketika pergantian tahun. Selain sebagai media evaluasi, juga
sebagai sarana untuk bagaimana merancang tahun depan menjadi lebih baik, lebih
sholeh dan tentunya lebih takwa.
Oleh karena itu, sangat penting bagi
setiap Muslim menyambut pergantian tahun Hijriah ini dengan penuh kesungguhan
untuk benar-benar mengagendakan dan mewujudkan suatu perubahan. Perubahan
seperti apa? Jelas perubahan menuju kebaikan, yang terkandung dari makna hijrah itu sendiri
sebagaimana telah disampaikan oleh Rasulullah.
Makna Hijrah
Tahun baru Hijriyah adalah sistem
penanggalan Islam yang didasarkan pada peristiwa hijrah yang dilakukan oleh
Nabi dan para sahabatnya. Peristiwa tersebut menjadi starting point (langkah
awal) peradaban Islam menuju puncak kejayaan.
Dari peristiwa hijrah itu, spirit
iman menjadi nyata dalam kata dan perbuatan, sehingga tidak heran jika setelah
hijrah banyak sekali para sahabat yang memiliki kepribadian unggul nan
mengagumkan. Perubahan mindset (pola pikir) benar-benar terjadi secara
totalitas pada diri seluruh umat Islam kala itu.
Secara bahasa, hijrah artinya
berpindah. Sementara itu dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan
perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bersama para sahabat dari Makkah
ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa
akidah dan syari’at Islam.
Mereka yang berhijrah kala itu
adalah Muslim yang tidak lagi memiliki tujuan apa-apa selain daripada rahmat
Allah Ta’ala.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ
هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ
اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 218).
Pada ayat yang lain Allah tegaskan
bahwa orang yang berhijrah itulah orang yang terbukti benar keimanannya.
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ
وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَ صَرُواْ أُولَـئِكَ هُمُ
الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat
kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah
orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki
(nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal [8]: 74).
Maka dari itu, mereka yang berhijrah
di jalan Allah adalah orang yang tinggi derajatnya dan termasuk orang yang
mendapat kemenangan besar, mendapatkan rahmat Allah SWT.
الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ
وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً
عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka,
adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.” (QS. At-Taubah [9]: 20).
Menafsirkan ayat tentang hijrah pada
QS. 9: 20 Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an mengatakan bahwa,
Sesungguhnya tidak ada wujud hakiki (dari keimanan seorang Muslim) hanya
semata-mata memeluk akidah, dan bukan pula dengan semata-mata melaksanakan
ibadah-ibadah ritual.
Agama ini adalah manhaj kehidupan
yang tidak tercermin wujud nyatanya kecuali dalam akumulasi gerakan, tindakan
nyata dalam bentuk masyarakat yang bekerja sama bahu-membahu. Adapun
keberadannya dalam bentuk akidah adalah wujud hukmi (secara hukum), wujud riil, dan tercermin dalam bentuk gerakan nyata.
Dengan demikian makna hijrah dapat dipahami
sebagai suatu gerakan perpindahan secara totalitas, mulai dari fikriyah hingga
amaliyah, dari jahiliyah menuju Islamiyah dalam satu gerakan yang rapi,
sistemik dan keseluruhan, baik dalam konteks pribadi maupun sosial.
Perubahan Diri ke arah yang lebih baik
Momentum hijrah tahun ini harus kita maknai sebagai media perubahan diri yang maksimal dalam
penyempurnaan iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebab, jika tidak,
boleh jadi kita merasa biasa saja dalam hidup ini. Seolah telah menjadi baik,
padahal belum. Momentum hijrah ini adalah media yang tepat untuk mendata secara
mendetail siapa sebenarnya diri kita. Apakah yang paling kita cintai dalam
hidup ini, apakah yang paling sering kita pikirkan dalam hidup ini, dan apa
yang sebenarnya ingin kita raih dalam kehidupan dunia ini.
Menghadirkan pertanyaan semacam itu
misalnya, akan sangat membantu setiap jiwa mengetahui siapa dirinya dan
kemudian menetapkan tujuan dan posisi sebagai seorang Muslim secara tepat.
Sebab, disadari atau tidak, kita evaluasi atau tidak diri kita, atau kita catat
atau tidak amal perbuatan kita, Allah melalui malaikat-Nya tak pernah lengah
mencatat amal kita sehari-hari.
بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ
وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Rad [13]: 11).
Menurut Ibn Katsir, setiap manusia
dikelilingi empat malaikat, empat di siang hari dan empat di malam hari yang
bertugas mengawasi setiap manusia secara bergiliran, dua sebagai penjaga dan
lainnya sebagai pencatat amal perbuatannya.
Mungkin selama ini kita lupa tentang
hal ini, maka di momentum hijrah ini kita harus benar-benar atur diri kita
untuk sebisa mungkin melakukan amalan sholeh sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya, akan bagaimana
kita ke depan sangat ditentukan oleh bagaimana kita hari ini.
Artinya, semakin baik kita dalam
keseharian, itu berarti Malaikat tidak menghadap Allah kecuali melaporkan
kebaikan, insya Allah kebaikan di masa depan itu pasti menjadi kenyataan.
Karena setiap kebaikan berbalas kebaikan (QS. 55: 60) dan setiap kebaikan yang
kita lakukan kembali pada kita sendiri (QS. 17: 7).
Di sinilah setiap Muslim harus
melakukan agenda perubahan. Dengan spirit hijrah, itu bukan suatu yang
mustahil. Sebab, Allah tidak akan pernah merubah suatu kaum (termasuk pribadi
kita) jika kita sendiri tidak mau merubahnya (QS. 13: 11). Ust. Fajri (disampaikan dalam acara pengajian Masjid Sulaiman al Abid, Perum Sudirman, 9 November 2013)