Selasa, 03 April 2012

Budaya Membaca Santri Ruhul Jadid

Kompetensi literasi yaitu kemampuan dasar seorang siswa dalam hal mendengar, membaca, menulis dan berbicara. Menurut Najib Sulhan; 2010, kegagalan seorang siswa dalam belajar salah satunya karena siswa tidak memiliki kompetensi literasi. Sementara itu, pada umumnya, kegagalan sekolah dalam mendidik siswanya karena sekolah tidak menerapkan pola pembelajaran literasi yang terpadu. 


Kemampuan mendengar

Kemampuan mendengar (audio) adalah kemampuan dasar bagi seorang siswa dalam mendengar dan menyerap apa yang disampaikan oleh guru, baik di kelas atau di luar kelas. Dengan kemampuan mendengar yang baik, tentu pelajaran yang disampaikan oleh guru akan dapat diserap dengan baik pula. Apabila siswa tidak memiliki kemampuan mendengar yang baik, atau dengan kata lain, terjadi gangguan terhadap pendengaran, maka akan terjadi distorsi pemahaman pembelajaran pada anak didik.

Oleh karena perlu diciptakan pembelajaran yang tidak hanya selalu di dalam kelas karena jarak suara kepada siswa menjadi kendala bagi siswa yang kurang memiliki pendengaran dengan baik. Terlebih lagi apabila suara guru juga sayup-sayup terdengar. Sewaktu-waktu guru juga harus kreatif dalam pembelajaran, contohnya bisa membawa speaker di kelas ketika melakukan proses pembelajaran, atau pihak sekolah berusaha memiliki ruang audio visual untuk pembelajaran.

Harapannya kondisi seperti ini dapat memfasilitasi anak didik yang mengalami kendala khususnya pada pendengaran. Tentu sangat bijak bagi sekolah tersebut, yang apabila mendapati nilai anak didik buruk, kemudian tidak hanya menyalahkan si anak didik, tapi berusaha memperbaiki dan melihat ke dalam, apa yang kurang dengan sekolah ini sehingga ada anak yang mendapatkan nilai buruk.

Kemampuan membaca

Kemampuan membaca adalah sarana dalam menyerap ilmu pengetahuan yang bersifat pribadi. Bahasa tulisan yang ada di dalam buku, ditransfer oleh siswa, menjadi sebuah makna. Dalam terminologi Ilmu Komunikasi, tulisan adalah tanda, tulisan adalah simbol yang mewakili makna dalam sebuah realitas. Dengan tulisan seorang siswa memaknai sebuah tanda, dengan tulisan pula sebuah realitas dapat bernilai. Bahkan peradaban ilmu pengetahuan di dunia ini di mulai ketika ada tulisan.

Kecepatan mata dan daya rekam otak menjadi sangat penting bagi siswa ketika dia membaca. Dua indera manusia ini akan saling membantu dalam proses pemaknaan dalam memori berfikir seorang anak. Dalam membaca mata tertuju dengan tulisan, sementara daya rekam memaknai tanda dan simbol yang ada dalam tulisan. Penting sekali untuk diperhatikan, pencahayaan adalah alat bantu dalam proses membaca, pastikan bahwa anak tidak ada gangguan mata pada saat membaca, dan pencahayaan sangat mendukung dalam kegiatan membaca.

Mengetahui pentingnya kemampuan membaca ini, maka motivasi harus dilakukan baik dari dalam diri anak didik, atau pihak sekolah memberikan fasilitas kepada anak dengan menyediakan waktu wajib membaca (reading time).


Ada pelajaran berharga yang kami jadikan motivasi, bagi Pesantren Al Qur'an SMPIT Ruhul Jadid ketika membuat peraturan reading time  bagi santri. Pelajaran berharga tersebut kami dapatkan dari tulisan Lina Marlina (29 Mei 2009 : Kebiasaan membaca di Jepang)  yang mengungkapkan pengalamannya waktu berada di Jepang.

Jepang adalah Macan Asia, di mana segala kemajuan, mulai dari kemajuan perekonomian hingga teknologi, berjalan sangat pesat. Pada dasarnya, kemajuan yang dicapai Jepang pada saat ini merupakan buah dari kerja keras pemerintah Jepang untuk membangun budaya literasi yang dimulai sejak dari bangku sekolah dasar.
Pemerintah Jepang membuat kebiasaan membaca diawali dari sekolah. Guru mewajibkan siswa-siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini dikuti dengan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pelaksanaan aturan tersebut. 
Awalnya, pelaksanaan regulasi tersebut memang sulit dilakukan, mengingat para murid memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan yang berbeda. Namun, karena pola pendidikan di Jepang didesain sedemikian sehingga berkesinambungan dengan pola pendidikan di rumah, sehingga dalam pelaksanaannya, orangtua juga proaktif mengembangkan kebiasaan baca di sekolah.

Jam masuk sekolah di Jepang dimulai pada pukul 07.00 waktu setempat. Tetapi gerbang sekolah mulai ditutup 15 menit sebelum pelajaran formal dimulai. Pada jam inilah biasanya peraturan tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, pada lima belas menit pertama anak-anak sekolah dasar diwajibkan membaca buku apapun yang dipilihnya dari perpustakaan sekolah. Tidak hanya itu, pola pendidikan di Jepang juga dibuat untuk mendorong siswa agar aktif membaca, seperti mempresentasikan karya sastra klasik, membuat kelompok story telling berdasarkan buku yang telah dibacanya untuk kegiatan amal yang berlangsung pada akhir tahun pelajaran. 

Hasilnya, budaya baca yang telah tertanam pada pelajar di Jepang rupanya membuat siswa-siswa ini secara sadar dan mandiri membuka ruang-ruang diskusi ilmiah informal di luar jam pelajaran mereka, dengan salah satu agendanya adalah membahas banyak buku-buku yang tengah terbit ataupun fenomenal.
Di Pesantren Al qur'an SMPIT Ruhul Jadid, sekarang sudah mulai menerapkan reading time. Pihak Sekolah menetapkan bahwa setiap hari Sabtu jam 10.30 - 11.30 adalah jam wajib membaca bagi santri. Membaca buku sastra atau non sastra kecuali komik. Kami juga mewajibkan kepada santri untuk mendiskusikan apa yang telah di baca kepada santri-santri lain. Harapannya adalah reading time ini dapat menjadi gerbang awal bahwa membaca adalah budaya santri di Pesantren Qur'an SMPIT Ruhul Jadid. Fajri al Bankulani
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar